Oleh Ust. Ahmad Mujib el Shirazy
Di Indonesia hari ini, mencari pribadi muslim sekaliber Buya HAMKA (Haji Abdul Malik Karim Amrullah), bukan perkara yang mudah. Dalam diri HAMKA, bersatupadu karakter ulama, intelektual, sastrawan, politisi sekaligus.
Sebagai Ulama, HAMKA telah menunjukkan teladan sebaik-baik ulama. Ulama yang rela menggenggam erat kebenaran meski kebenaran itu laksana bara api yang membakar tangannya.
Sebagai seorang intelektual, beliau telah mempersembahkan lebih dari 100 buah karya.
Sebagai sastrawan, ia dikenal sebagai sastrawan adiluhung dengan karya-karya yang memikat jiwa. Salah satu karyanya, Di Bawah Lindungan Ka’bah (1936) berhasil memenangkan perlombaan mengarang roman yang diselenggarakan volkslectuur Balai Pustaka. Karya sama yang belakangan difilmkan dan sempat diputar di gedung-gedung bioskop negeri ini.
Inilah yang menjadi alasan kuat, Mengapa. dalam perayaan Muharram kali ini, Unissula dengan penuh kebanggaan memberikan penghargaan Budai Award untuk Buya HAMKA. Sebuah penghargaan yang hanya diberikan kepada Pribadi muslim yang dianggap merepresentasikan pribadi Khaira Ummah.
Pribadi dengan segudang keteladaan dan prestasi. Pribadi yang berkontribusi bagi pengembangan Umat Islam Indonesia.
Pelajaran Kehidupan HAMKA
Menyusuri lika-liku kehidupan HAMKA akan kita jumpai banyak sekali pelajaran hidup yang berharga.
HAMKA adalah seorang pecinta ilmu. Kecintaannya terhadap ilmu yang menggerakkanya berpetualang ke luar pulau, bahkan keluar negeri. Ia hijrah ke jawa dalam usia yang cukup dini, berguru pada AR. Sutan Mansur juga HOS Cokroaminoto.
Berkunjung pula ke Mekah, kota yang menjadi kiblat umat Islam se-dunia. Tak berhenti disitu, ia terus berpetualang dari buku-ke-buku, belajar secara otodidak.
Walaupun HAMKA lahir dari rahim belajar otodidak, namun kedalaman wawasan dan pengetahuannya tidak kalah dengan mereka yang mengenyam pendidikan bangku sekolah. Bahkan dalam segi produktivitas menulis, ia mampu mengalahkan mereka yang jebolan pendidikan formal. Ia pun mendapatkan doctor honoris causa dari Universitas Al-Azhar Kairo Mesir.
Sebagai seorang ulama, ia tidak mencukupkan diri hanya semata berdakwah melalui mimbar. Lebih dari itu, ia juga aktif berdakwah melalui pena. Mengarang ratusan buku. Dengan pilihannya itu, menjadikan warisan intelektualnya pun masih bisa kita nikmati sampai sekarang. Sebut saja, diantara karya-karyanya antaralain : Tafsir al-Azhar, Pandangan Hidup muslim, Pelajaran Agama Islam, Iman dan Amal Shaleh, Tasawuf Modern. Falsafah Ideologi, keadilan social dalam Islam, Ghirah dan Tantangan terhadap Islam. dll
HAMKA tahu benar cara mensyukuri hidup. Ia sadar bahwa apapun itu hakikatnya berasal dari Allah. Dan karenanya pantang untuk meratap. Sebaliknya, setiap kejadian ia maknai dengan cara yang positif.
Pernah suatu masa, ia harus mendekam dalam balik jeruji besi, lantaran bersinggungan dengan kekuasaan. Namun HAMKA tak patah arang, terpisah dengan manusia, terkungkung dalam penjara yang sumpek itu, ia justru menggunakan waktunya yang longgar dipenjara untuk menulis. Hamka mengatakan, “Bila pintu komunikasi antar manusia diputus oleh manusia, pintu Komunikasi dengan Allah terbentang luas”.
Dua tahun berada di penjara, Hamka berhasil menyelesaikan karya monumental Tafsir al-Azhar
Pernah Hamka mengalami badai kehidupan yang dahsyat. Ia difitnah, karyanya dicibir, dituding melakukan plagiasi, bahkan dijebloskan kedalam penjara semua itu tidak juga menjadikannya pendendam. Dengan kelegaan hati ia maafkan musuh-musuh politiknya. Ia tidak membenci pengarang-pengarang Lekra, seperti Pramodya Ananta Toer yang menelanjanginya habis-habisan karyanya. Ia hanya mengatakan, “Serangan yang dilancarkan terhadap diri saya, samasekali tidak benar. Semua itu fitnah. Saya hanya dapat berdoa. Biarlah mereka sepuas-puasnya memaki saya, sebab yang pasti akan ketahuan mana emas-mana Loyang” (Harmoko, 1984)
HAMKA juga tidak dendam kepada Soekarno yang memenjarakannya. Bahkan ketika Soekarno meninggal, memenuhi permintaan Soekarna. Hamkalah yang menjadi imam Shalat Jenazah.
Di hadapan jenazah Soekarno yang telah membujur kaku. Seusai memimpin shalat jenazah. Hamka berkata, “Aku Telah Doakan Engkau dalam sembahyangku. Supaya Allah memberikan ampunan atas dosamu. Adapun dosamu pada diriku, menganiaya aku, menuduhku dengan tuduhan palsu. Mengecewakanku dengan anak cucuku sampai kami menderita bertahun-tahun lamanya, di hari perpisahan ini aku jelaskan bahwa engkau telah kuberi maaf” (Poeradisastra,1984)
Pejuang Kebenaran
HAMKA pernah mengatakan “Kemerdekaan adalah memperhambakan diri atau mengakui diri menjadi budak dari kebenaran”. Ucapan yang bukan isapan jempol. Sepanjang hidupnya, HAMKA telah membuktikan kekukuhannya dalam memegang prinsip itu. Ia rela menanggalkan gelar kehormatan, menjadi ketua MUI, pemimpin ulama Se-Indonesia, ketika pemerintah memintanya menarik sebuah fatwa yang ia yakini kebenarannya. sebagai Ketua MUI, Hamka berfatwa : “Umat Islam diharamkan menghadiri perayaan natal”. Pemerintah rupanya tidak setuju dengan Fatwa MUI ini dan memerintahkan agar MUI mencabut fatwanya. Berhadapan dengan Pemerintah, HAMKA tidak gentar, ia tetap kukuh dengan pendapatnya, katanya ”Walaupun langit runtuh, kebenaran harus disampaikan”.
Menjunjung tinggi kebenaran yang diyakininya, Hamka pun memutuskan untuk mengundurkan diri. Meletakkan jabatannya sebagai ketua MUI. Jabatan yang tentu saja sangat terhormat.
Sebagai seorang ulama, Hamka adalah ulama yang arif. Ulama yang faham kepada siapa harus bicara apa, ulama yang mengenal setiap jamaahnya seperti mengenal diri sendiri. Ulama yang kehadirannya menjadi penyejuk, bukan bertindak sebagai sumbu api yang membakar. Hamka adalah Teladan bagaimana seorang ulama membangun jembatan komunikasi dengan umatnya.
Pernah suatu kali, dalam ceramahnya, seorang anak muda bertanya. “Buya. bagaimana hukumnya minum bir, kalau dimaksudkan menjaga kesehatan?” Hamka menjawab, “Kalau ananda menginginkan kesehatan dengan minum bir, maka ketahuilah bahwa saya tetap sehat sekalipun tidak minum bir”
Di kesempatan yang lain, seorang pemuda yang penuh dengan gelora keislamannya, mengaduh. “Buya, bagaimana ini. anak-anak gadis sekarang, pakai kerudung cuma ditaruh di kepala. Rambut mereka masih pada kelihatan.”
Buya menjawab, “Dulu. selendang hanya diikat di pinggang. Lalu, naik sedikit. Selendang itu di taruh di pundak. Kemudian berpindah di kepala. Itu sudah bagus. Sabar ananda. Sebentar lagi juga akan menutup rapat kepala”
Pernah juga seorang remaja putri bertanya, ”Bagaimana hukumnya memakai cat kuku?”
HAMKA tidak buru-buru menjawab “boleh” atau “tidak boleh”. Tapi menjawabnya dengan simpatik. “Memakai cat kuku itu boleh-boleh saja. Tapi ingat kalau mau shalat harus dikerok. Karena jika memakai cat kuku. Air wudhunya tidak sah” (H. Achmad Sjathari, 1984)
Pesan HAMKA Untuk Bangsa
Tulisan-tulisan buah karya HAMKA meski sudah termakan usia, namun masih layak untuk menjadi pegangan hari ini. Salah satu tulisan yang patut kita renungi adalah tentang tergerusnya nilai-nilai karakter masyarakat oleh penetrasi budaya Barat.
Nilai-nilai luhur yang menjadikan bangsa ini terhormat sudah termakan oleh pengaruh luar. Sehingga yang terjadi kemudian adalah bangsa ini menjadi bangsa yang dianggap remeh oleh bangsa lain.
Misalnya di Minangkabau, ada pepatah begini, seperti yang ditulis oleh HAMKA, dalam bukunya yang berjudul, Ghirah dan Tantangan Terhadap Islam, ‘Arang tercoreng di kening, malu tergaris di muka’. Karena prinsip ini ketika seorang pemuda dibuat malu karena saudara perempuannya dinodai kehormatannya, ia bangkit menghajar dan menghabisi orang yang menodai saudaranya perempuannya itu. Walaupun ia harus mendekam di penjara, baginya lebih baik daripada tidak membela kehormatan keluarganya itu. (Hamka, 1982)
Itulah harga diri yang sekarang ini sudah menjadi barang yang langka. Nilai-nilai itu sudah luntur di kalangan masyarakat Indonesia. Tidak saja masyarakat awam, petinggi negeri ini pun telah kehilangan rasa harga dirinya. Meski terang terbukti korupsi, tetap saja merasa tidak melakukan apa-apa, tak juga muncul perasaan bersalah.
Berkenaan dengan menyambut datangnya fajar baru Islam, Hamka memberikan nasihat, umat Islam jangan hanya pandai menanam kangkung, yang hari ini ditanam, esok dipetik dan lusa dimakan habis. Tapi harus banyak menanam pohon jati, yang sekalipun si penanam tidak menikmati hasilnya akan sangat bermanfaat pada kehidupan generasi mendatang”
Hamka memang sudah tidak bersama kita hari ini, namun Apa yang ditulisnya puluhan tahun yang lalu patutlah menjadi pelajaran generasi hari ini. Generasi yang berharap yang terbaik untuk bangsanya.