Hikmah Tersembunyinya Lailatul Qadar

Oleh Ustadz Heri Latief

Membaca penjelasan ulama tentang lailatul Qadar. Salah satu hikmah disembunyikannya lailatul Qadar, kata Imam ArRazy dalam tafsirnya, adalah untuk memberi keringanan kepada mereka yang jatuh pada dosa dan kelalaian.

Sebagaimana yang kita tahu, setiap pengetahuan dan terangnya kebenaran, akan berbanding lurus dengan ancaman hukuman yang lebih berat apabila pengetahuan itu diabaikan.

Contoh, ketika Al-Quran kadung menjelaskan ada empat bulan yang dimuliakan, maka ia ditutup dengan peringatan “falaa tudzlimuu fiihanna anfusakum, jangan dzalim disitu”. Kata Ibnu Abbas, berbuat dosa di bulan haram yang empat, dosanya lebih besar daripada di bulan lain.

Maka kalau Anda tahu malam ini lailatul Qadar, lalu oleng nuruti maksiat, maka dosanya lebih besar dibanding Anda tak tahu kalau malam ini lailatul Qadar. Itu hikmah rahmat Allah dari terhijabnya lailatul Qadar.

Suatu ketika Rasulullah SAW masuk masjid. Lalu menjumpai seseorang yang sedang tidur. Lalu beliau menyuruh Ali membangunkan dan wudhu. Ali lalu bertanya, “Ya Rasul, bukankah engkau selalu yang paling duluan dalam urusan kebaikan, mengapa engkau menyuruh aku yang melakukan?”.

Rasulullah menjawab, “Aku takut ketika aku membangunkan dia, dia mengabaikanku. Yang karena itu dosanya menjadi lebih besar karena mengabaikanku”.

Maksudnya, kalau yang diabaikan kelas Sahabat Ali, berarti orang itu tidak kena dosa. Karena tak masuk kriteria mengabaikan Rasul Allah.

Begitulah kelembutan nabi. Keistimewaannya dibungkus dengan rahmat dan kebijaksanaannya. Kisah di atas dicontohkan oleh imam Ar-Razy tentang hikmah disembunyikan lailatul Qadar. Bahwa mengabaikan/bermaksiat di Lailatul Qadar padahal sudah ngerti, dengan tak tahu kalau malam itu lailatul qadar, konsekuensi dosanya beda.

Saya ingin bergeser topik, membawa dialog Ali dan Nabi ini dengan berita yang berseliweran beberapa hari ini. Soal Pengasuh pondok cabul. Atau guru agama cabul. Miris dan memalukan. Menurut saya, seandainya budaya kritis yang ditandai dengan kebebesan berpendapat dan bertanya itu ditanamkan, seperti relasi Ali dan Nabi di atas, tentu penyimpangan-penyimpangan atas nama kepatuhan itu bisa diminimalisir.

Saya tak hendak menyederhanakan persoalan, tentang penyebab terjadinya penyimpangan kuasa pengasuh pesantren. Banyak faktor. Tapi setidaknya, kalau iklim feodalisme itu dibuat lebih lentur dan egaliter, pastinya akan menurunkan banyak potensi penyimpangan.

Di pesantren-pesantren yang mengutamakan pembelajaran Fikih, budaya kritis dan bertanya ini sudah di bangun. Lain halnya dengan Pondok/padepokan yang didominasi dengan bangunan sakralitas guru dengan dominan menyodorkan laku-laku tirakat. Di sini yang rawan. Syaikh Said Ramadhan AlButhy, mengklaim beliau bertasawuf tapi tak bertarekat, alasan utamanya sebagai respon kritik beliau atas penyalahgunaan laku feodalisme dalam dunia tarekat.

Tentu tidak semua laku kepatuhan tanpa syarat dalam tarekat itu negatif. Secara teori ia menjadi asas penting dalam perjalanan murid menuju “sampai”. Tapi untuk dunia hari ini, ada baiknya falsafah jawa ini kita pertimbangkan “alon alon asal klakon, biar lambat asal slamat”. Bahwa, kalaulah dengan budaya bertanya (dialog), yang katanya menyebabkan murid susah wusul ke Allah, sepertinya tetap layak jadi konsep utama dalam pendidikan. Demi menyelamatkan tasawuf itu sendiri dari penyimpangan – penyimpangan bedes berkedok mursyid yang makin banyak.

Sebagaimana kita lihat dalam budaya yang diciptakan Nabi dalam mentarbiyah sahabat. Egalitarian, kedekatan, menciptakan dialektika. Ada diskursus. Maka tak aneh ketika dari rumah kenabian muncul kader-kader luar biasa yang meneruskan tonggak perjuangan beliau. Mereka negarawan, pakar fikih, ahli tafsir, ahli manajemen bisnis. Kalaulah yang diciptakan budaya kelemahan, ketidakmampuan, kepasrahan, tak boleh kritis, tentu mereka tak akan jadi seperti itu.

Beritahu Teman 👇

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *