Korupsi, manipulasi, dan kejahatan lainnya yang semakin meningkat ditengarai disebabkan oleh pendidikan yang hanya menitikberatkan ranah kognisi, sedang ranah afeksi dan psikomotor dikesampingkan. Padahal ketiga ranah itu merupakan satu kesatuan yang dibutuhkan untuk memproses manusia menjadi saleh. Selama pendidikan tidak mengacu kepada tiga ranah tersebut secara integral dan seimbang, selama itu pula pendidikan akan mengalami kegagalan.
Pendidikan karakter yang pernah mengemuka pada hakekatnya adalah pendidikan nilai (afeksi) yang salah satu acuannya adalah agama. Allah telah menurunkan syariat untuk menunjukkan jalan, arah tujuan, dan program hidup yang mesti dipatuhi dan diamalkan oleh setiap muslim yang salah satunya adalah syariah korban.
QS. al-Shāfāt 37: 102 memuat dialog antara Ibrahim As dan putranya, Ismail As. Dialog dua anak manusia itu menimbulkan rasa haru dan sendu. Nabi Ibrahim As selaku sang ayah dengan penuh ketulusan bersedia mengorbankan putra kesayangan satu-satunya. Nabi Ismail As selaku sang putra dengan ketundukan dan keikhlasannya telah bersedia mempersembahkan dirinya demi terlaksananya titah perintah Allah atas diri ayahandanya. Kedua anak manusia itu tunduk patuh pada titah perintah Allah. Ibrahim telah membuktikan dirinya telah mapan dalam beriman dan tegar dalam bersabar sehingga Tuhan melimpahkan anugerah kesejahteraan dan menyematkan predikat kehormatan sebagai imam sepanjang masa.
Peristiwa dua anak beranak itu kemudian diabadikan menjadi suatu perintah atas setiap muslim yang memiliki kemampuan untuk menyembelih hewan ternak pada hari-hari tanggal 10-13 Żulhijjah sebagai bentuk ibadah kepada Allah Swt. Pembakuan ibadah ini ditegaskan dalam QS. al-Kauśar. Harfiah ibadah korban adalah menyembelih hewan ternak pada hari ‘īd al-adha dan hari-hari tasyrīq. Tetapi sesungguhnya substansi pengorbanan yang telah dilakukan Ibrahim dan putranya Ismail, dan pengertian korban sendiri, yaitu mempersembahkan sesuatu yang dimiliki dan dicintai dalam rangka pendekatan diri kepada Allah, korban dapat diformulasikan dalam suatu tatanan kehidupan dan jalan hidup yang harus ditempuh oleh setiap muslim dalam rangka menuju kepada keridaan Allah Swt.
QS. al-Shāfāt 37: 102 selain mengandung nilai-nilai pengorbanan, juga mengandung nilai pendidikan yang sangat berharga bagi kehidupan umat Islam. Ungkapan Ibrahim: “Cobalah anakku, bagaimana menurut pendapatmu?”, dan spontan direspons oleh Ismail sebagai sang putra dengan ungkapan: “Wahai ayahanda, laksanakan apa yang diperintahkan Tuhan kepadamu, dan insya Allah ayahanda akan menjumpai diriku termasuk orang yang sabar”. Respons spontan Ismail itu ditinjau dari sudut pendidikan menunjukkan Ismail memiliki kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual yang luar biasa.
Kecerdasan intelektual Ismail ditunjukkan pada redaksi jawaban yang tersusun rapi, sistematis,dan logis. Tidak mungkin beliau memberikan jawaban sistematis dan logis tanpa memiliki kecerdasan intelektual. Kecerdasan emosional ditunjukkan pada spontanitas jawaban yang menggunakan kata-kata Wahai ayahanda … dan insya Allah. Sikap Ismail yang responsif, sadar, tenang, dan datar menunjukkan bukti konkret bahwa Ismail memiliki kecerdasan emosional yang tinggi. Kecerdasan spiritual ditunjukkan Ismail pada isi seluruh jawaban atas pertanyaan ayahandanya. Jawaban Ismail merupakan lambang supremasi keimanan seseorang dalam rangka mencapai tujuan suci, yaitu mardatillah. Karena, Nabi Ismail selaku sang putra dengan ketundukan dan keikhlasannya telah bersedia mempersembahkan dirinya demi terlaksananya titah perintah Allah atas diri ayahandanya. Kendati mengorbankan jiwa raganya, tetapi beliau masih mampu dengan sadar dan tegar menutup jawaban dengan: “… dan insya Allah ayahanda akan menjumpai diriku termasuk orang yang sabar”.
Dalam strategi pendidikan nilai ada empat model, yaitu tradisional, bebas, reflektif, dan transinternal (Noeng Muhadjir, 1988). Model strategi pendidikan nilai yang dipilih Nabi Ibrahim As adalah model transinternal. Strategi ini merupakan cara untuk mengajarkan nilai dengan jalan melakukan transformasi nilai, kemudian transaksi, dan selanjutnya transinternalisasi. Implementasinya adalah, anak dan orangtua terlibat proses komunikasi aktif dan adanya keterlibatan batin, tidak bersifat verbalistik dan fisik. Orangtua berperan sebagai penyaji informasi, pemberi contoh, teladan,dan sebagai sumber nilai yang melekat dalam pribadinya, dan anak menerima informasi dan meresponsterhadap stimulus orangtua secara fisik biologis, kemudian memindahkan dan mempolakan pribadinya untuk menerima nilai-nilai kebenaran sesuai dengan kepribadian orangtua.
Pergeseran standard of judgment dalam kehidupan umat Islam telah mempengaruhi tatanan kehidupan dan jalan hidup yang ditempuh.
Pengaruh itu tampak pada pendidikan. Orangtua lebih suka menyerahkan pendidikan sepenuhnya kepada sekolah dan lebih cenderung mengutamakan putra-putrinya menduduki ranking tertinggi di kelasnya untuk dapat masuk di sekolah favorit yang tidak lain hanyalah mengejar pencapaian kecerdasan intelektual (kognitif). Jika ini yang terjadi, maka pemberantasan korupsi dan kejahatan lain di negeri ini sangat sulit dilakukan. Sekarang baru disadari pentingnya pendidikan nilai, karena kecerdasan intelektual saja tidak mungkin memanusiakan manusia. Kecerdasan intelektual yang tidak disertai dengan kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual akan menjadikan seseorang dungu, tidak care, dan tidak pula memiliki nilai kemanusiaan. Itulah sebabnya dalam QS al-A’raf 7: 179 Allah berfirman: “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka jahanam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati tetapi tidak untuk memahami (ayat-ayat Allah), mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai”.
Pendidikan yang dilakukan Ibrahim As terhadap putranya, Ismail As adalah pendidikan nilai dengan menggunakan strategi transinternal yang mengintegrasikan tiga ranah pendidikan. Pendidikan nilai model ini mengantarkan Ismail dengan suka rela bersedia mengorbankan dirinya demi titah perintah Allah atas diri orangtua. Adalah kewajiban setiap orangtua mencontoh pendidikan yang dilakukan Nabi Ibrahim dalam mendidik putra-putrinya. Mereka membutuhkan pendidikan nilai untuk memenangkan masa depan umat dan negeri tercinta ini. Semoga.
Oleh Dr. Ayoeb Amin, LIS, M.Ag.