Falsafah Mantiqiyyah: Pintu Masuk Pengembangan Dirasat Islamiyyah di Pondok Modern

Muhadatsah Bahasa Arab dan Conversation Bahasa Inggris

Ust. Imaduddin Abdussalam, S.Ag.

Setiap pagi, begitu anda masuk di lingkungan pondok modern, disitu tidak asing dengan kegiatan santriwan dan santriwati sedang melaksanakan kegiatan muhadatsah, atau belajar berinteraksi kepada sesama dengan memakai percakapan dua bahasa, Inggris atau Arab. Bahasa Arab, yang ditetapkan menjadi bahasa internasional oleh Unesco pada 18 Desember 1973 ini merupakan cara respon yang luar biasa kritisnya dari para pendiri Gontor untuk merespon kebutuhan umat muslim di Indonesia akan pentingnya Bahasa Arab karena sebagai bahasa internasional. Lebih dari itu, dari gramatika Bahasa Arab, kita sedikit banyak belajar mengenai embrio-embrio falsafah mantiqiyyah, yang menurut penulis, sangat penting untuk ketajaman berfikir, menganalisa, memilah, serta menyimpulkan fenomena sosiologi masyarakat Islam di Indonesia yang semakin beragam.

Dalam artikel singkat ini, penulis berupaya menghadirkan dan menelaah ide pentingnya sebuah pengembangan keilmuan Islam di sisi low tradition, atau gejala budaya dan sisi sosiologis umat Islam di Indonesia. Dalam hal ini, Islam yang dipraktekkan dan dianut serta sudah menjadi budaya di tengah masyarakat, yang dicetuskan oleh Prof. Dr. M. Amin Abdullah, salah satu guru penulis dan beliau juga sebagai alumni dari PMDG Gontor. Tahun 1972. Amin Abdullah dalam Studi Agama Normativitas dan Historisitas menyamppaikan bahwa menurut telaah filsafat ilmu, hampir semua kegiatan keilmuan, baik yang natural science, ataupun social science, bahkan religious sciences mengalami perubahan paradigma, cara pandang, atau shifting paradigm. Menurrutnya, kegiatan ilmu pengetahuan selamanya bersifat historis, lantaran dibangun, dan dirancang oleh akal budi manusia yang juga bersifat historis, dalam kandung maksud terikat dengan waktu dan ruang.

Yang ingin disampaikan dari uraian di atas, bahwa secara kurikulum, kemudian susunan silabus mata pelajaran di wilayah dirasat Islamiyyah merupakan hasil dari akal budi dari pengajar, yang tentu saja adalah manusia yang terikat dengan waktu dan ruang.  Ketika hanya disajikan kepada santri, murid atau katakanlah mahasiswa dengan role model berulang-ulang, maka muncul sebuah realitas bahwa wilayah studi keislaman yang sifatnya dapat di revisi, dikritisi, dikembangkan, dan di inovasi sesuai dengan kebutuhan zaman, atau bahasa enaknya wilayah yang shalihun likulli makan wa zaman, menjadi suatu yang baku, tidak dapat dirubah-rubah dan kemudian muncul sisi taqdisul afkar fii dirasat al islamiyyah,

Kembali ke gagasan awal, bahwa perlunya materi-materi falsafah manthiqiyyah ini sebagai pisau analisis untuk bekal santrri setelah selesai pembelajaran di system pondok modern untuk jenjang pendidikan selanjutnya, terutama di perguruan tinggi. Ketika kita belajar balaghah fi ‘ilmi al ma’any, kita dilatih bagaimana beretorika, berbicara secara lugas, mudah dimengerti dan bagaimana beretorika yang cerdas dalam menyampaikan gagasan dan pemikiran, Ketika kita belajar balaghah fi ilmi al bayani, kita belajar bagaimana beretorika dengan seni, namun, ada yang perlu dilengkapi, kita perlu belajar bagaimana balaghah fii ilmi al manthiq, bagaimana kita menerima gagasan orang lain, bagaimana cara berfikir kita yang sesuai kaidah-kaidah disiplin keilmuan falsafah manthiq, sehingga terhindar dari kesesatan berfikir, kesalahan dalam mengambil kesimpulan, ketumpulan dalam berargumentasi, yang intinya, balaghah fi ilmi mantiq merupakan ilmu metodologis bagaimana manusia mengoptimalkan ketajaman nalar fikiran supaya terhindar dari kesalahan mengambil kesimpulan. Subhanaka la ilma lana illa ma ‘allamtana, wallohul muwaffieq ila aqwamith tharieq

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *